Wednesday, July 30, 2008

PRO KONTRA PENYELESAIAN KASUS PELANGGARAN HAM DI TIMOR TIMUR DENGAN MENGGUNAKAN KOMISI KEBENARAN DAN PERSAHABATAN

PRO KONTRA PENYELESAIAN KASUS PELANGGARAN HAM DI TIMOR TIMUR DENGAN MENGGUNAKAN KOMISI KEBENARAN DAN PERSAHABATAN


Komisi Kebenaran dan Persahabatan (KKP) RI Timor Leste dibentuk berdasarkan prakarsa dan kesepakatan bersama antara pimpinan negara/pemerintahan Republik Indonesia dan Timor Leste. “Memorandum of Understanding” pembentukan KKP ditandatangani kedua pemimpin negara pada tanggal 14 Desember 2004 di Denpasar, Bali. Pembentukan KKP dilandasi oleh kesadaran bersama bahwa pengalaman pembinaan hubungan dan kerjasama bilateral Indonesia-Timor Leste di bawah lembaran dan paradigma baru pasca-tahun 1999 telah memberikan berbagai keuntungan dan pengalaman bersama yang positif. Tujuan pembentukan KKP sendiri adalah untuk menetapkan kebenaran akhir terkait dengan kejadian sebelum dan segera setelah jajak pendapat tahun 1999, dengan maksud untuk lebih meningkatkan rekonsiliasi dan persahabatan, serta guna menjamin tidak terulangnya kejadian serupa.

Prinsip pelaksanaan tugas KKP antara lain adalah:
1.KKP akan memperhatikan prinsip-prinsip yang relevan dalam sistem perundangan kedua negara, terutama berkenaan dengan rekonsiliasi,
2.KKP memperhatikan kompleksitas dan dari situasi masa transisi tahun 1999,
3.Sebagai institusi yang menggunakan pendekatan rekonsiliatif dan berorientasi ke depan, proses KKP tidak akan mengarah pada penuntutan dan akan menekankan tanggung jawab kelembagaan,
4.KKP meningkatkan rekonsiliasi dan persahabatan antar-pemerintah dan antar-masyarakat kedua negara, sebagai bagian dari penyembuhan luka-luka masa lalu,
5.KKP tidak apriori terhadap proses pengadilan yang sedang berlangsung mengenai kasus-kasus pelanggaran HAM yang dilaporkan di Timor Leste tahun 1999, dan tidak akan merekomendasikan pembentukan badan pengadilan apapun.

Kerangka Acuan KKP secara tegas menetapkan tiga mandat pokok KKP, yaitu:
1.mengungkapkan kebenaran akhir, mengenai hakekat, penyebab dan cakupan pelanggaran HAM yang dilaporkan terjadi pada tahun 1999,
2.menyusun laporan akhir yang terbuka kepada umum,
3.merumuskan rekomendasi mengenai langkah-langkah yang tepat untuk menyembuhkan luka lama, serta merehabilitasi dan memulihkan martabat manusia.

Berkenaan dengan mandat pertama, KKP akan mencari dan mengungkapkan mengenai:
1.Apakah telah terjadi pelanggaran HAM, termasuk pelanggaran HAM berat,
2.Mengapa peristiwa tersebut terjadi (dengan mendalami dan mengungkapkan konteks dan seluruh faktor yang melatarbelakangi peristiwa kekerasan dan pelanggaran HAM tahun 1999,
3.Siapa yang bertanggung jawab (dengan penekanan pada pertanggungjawaban kelembagaan), dan
4.Pelajaran apa yang dapat diambil dalam rangka memajukan persahabatan.
Menyangkut mandat kedua, KKP akan menyusun laporan mengenai seluruh pelaksanaan mandat KKP, termasuk mengenai metodologi kerja KKP, temuan-temuan dan kesimpulan KKP berkenaan dengan kasus perisitwa dan seluruh konteks dan latar belakanga peristiwa tahun 1999, serta rekomendasi kepada kedua kepala Negara. Laporan Akhir KKP akan disampaikan kepada kedua kepala Negara selaku pemberi mandat. Kepala Negara/pemerintahan selanjutnya akan mempelajari dan membuka laporan tersebut kepada publik dan mengambil langkah-langkah tindak lanjut yang diperlukan.

Menyangkut mandat ketiga, rekomendasi KKP akan mencakup empat hal, yaitu:
1.Usulan pengampunan bagi mereka yang terlibat dalam pelanggaran HAM, dengan syarat adanya kerjasama penuh dalam mengungkapkan kebenaran,
2.Usulan langkah-langkah rehabilitasi bagi mereka yang dituduh melanggar HAM, namun tuduhan tersebut salah,
3.Langkah-langkah dan cara-cara untuk memajukan rekonsiliasi antara rakyat yang didasarkan pada nilai-nilai adat dan agama,
4.Meningkatkan kontak antar orang dan orang yang inovatif dan kerjasama untuk meningkatkan perdamaian dan stabilitas.


Permasalahan hukum yang timbul adalah apakah pemberian pengampunan/amnesti terhadap pelaku pelanggaran HAM berat di Timor Timur oleh Komisi Kebenaran dan Persahabatan telah sesuai dengan instrumen hukum HAM internasional?


Istilah “kejahatan terhadap kemanusiaan” (crimes against humanity) sebagai salah satu kategori dari kejahatan internasional mulai dikenal di joint declaration antara pemerintah Prancis, Inggris, dan Rusia pada tanggal 28 Mei 1915. Pernyataan bersama dari tiga negara ini dibuat untuk mengutuk tindakan Turki yang membantai lebih dari satu juta warga Turki keturunan Armenia, yang disebut sebagai “kejahatan terhadap peradaban dan kemanusiaan” (crimes against civilization and humanity).
Definisi “kejahatan terhadap kemanusiaan” selanjutnya bisa ditemukan di dalam dua dokumen internasional, yaitu statuta ICTY (International Criminal Tribunal for the Former Yugoslavia), yang menyebutkan bahwa kejahatan terhadap kemanusiaan haruslah: (1) dilakukan dalam kondisi konflik bersenjata yang bersifat internasional maupun internal; serta (2) ditujukan terhadap penduduk sipil (directed against civilian population) dan kemudian statuta ICTR (International Criminal Tribunal for Rwanda), yang menyebutkan bahwa syarat suatu tindakan bisa disebut sebagai suatu kejahatan terhadap kemanusiaan adalah: (1) adanya serangan yang bersifat luas atau sistematis (a widespread or systematic attack); dan (2) diskriminasi atas dasar kebangsaan, politik, etnik, rasial atau agama dalam tindakan yang bisa dikategorikan sebagai kejahatan terhadap kemanusiaan.

Berbagai bentuk pelanggaran HAM yang terjadi di Timor Timur sebelum jajak pendapat pada tahun 1999 bisa dikategorikan sebagai suatu tindakan kejahatan terhadap kemanusiaan. Berdasarkan fakta, dokumen, keterangan dan kesaksian dari berbagai pihak, telah ditemukan bahwa tindakan yang telah terjadi di Timor Timur dapat digolongkan sebagai pelanggaran berat hak asasi manusia, yang mencakup pembunuhan, pemusnahan, perbudakan, pengusiran dan pemindahan paksa serta tindakan lainnya yang tidak manusiawi terhadap penduduk sipil. Pelanggaran HAM ini terjadi dalam rentang waktu setelah militer Indonesia memasuki wilayah Timor Timur pada Tahun 1975.

Menjelang jajak pendapat pada Tahun 1999, berbagai kekerasan juga meningkat secara drastis hampir di seluruh wilayah Timor Timur, yang berupa pembunuhan, penculikan, perkosaan, pengrusakan, penjarahan harta benda dan tempat tinggal, pembakaran dan penghancuran instalasi militer, perkantoran, dan perumahan penduduk yang berujung pada upaya pengungsian paksa.

Berdasarkan data diatas, dapat disimpulkan bahwa berbagai bentuk pelanggaran yang terjadi di Timor Timur, bukan hanya dikategorikan sebagai bentuk pelanggaran HAM berat, tapi juga sudah mencakup bentuk kejahatan universal yaitu kejahatan terhadap kemanusiaan atau crimes against humanity.

Pembentukan Komisi Kebenaran dan Persahabatan oleh kedua Negara, baik Indonesia maupun Timor Timur merupakan salah satu cara dari berbagai macam pilihan bentuk penyelesaian kejahatan masa lalu, khususnya mengenai HAM, mulai dari proses penuntutan (prosecution), pengeluaran para pelaku kejahatan masa lalu dari sistem pemerintahan selamanya (lustration), pemberian pengampunan, hingga pengungkapan kebenaran melalui komisi kebenaran seperti KKP ini. Dan seperti yang disebutkan diatas, terdapat tiga mandat pokok yang diberikan oleh masing-masing kepala negara kepada KKP, yang salah satunya adalah merumuskan rekomendasi mengenai langkah-langkah yang tepat untuk menyembuhkan luka lama, serta merehabilitasi dan memulihkan martabat manusia. Terkait mandat tersebut, pembentukan KKP banyak mendapat kecaman dan kritik dari elemen masyarakat. Banyak yang berpendapat bahwa pembentukan KKP merupakan suatu langkah pembentukan lembaga impunitas (badan pelindung pelaku kejahatan) karena di dalam mandat KKP memuat tentang upaya pengampunan/amnesti bagi mereka yang terlibat dalam pelanggaran HAM.

Lahirnya pro dan kontra terhadap penyelesaian kasus pelanggaran HAM di Timor Timur melalui KKP lebih banyak disebabkan dari tercerminnya ketidakadilan bagi korban pelanggaran HAM di Timor Timur dengan adanya upaya untuk memberikan amnesti bagi pelaku kejahatannya. Jose Zalaquett, mantan pengacara HAM Amnesti Internasional, menjelaskan bahwa pemberian amnesti kepada pelaku kejahatan berat HAM harus memenuhi tiga syarat, yaitu:

1.Kebenaran harus terlebih dahulu ditegakkan
2.Amnesti tidak diberikan untuk kejahatan terhadap kemanusiaan (crime against humanity) dan genosida (genocide)
3.Amnesti harus sesuai dengan “keinginan” rakyat

Berdasar kerangka diatas, amnesti yang bersifat self amnesty, yaitu amnesti yang diberikan kepada aparat negara, misalnya militer atau polisi, tidak dibenarkan. Amnesti seperti ini harus ditolak karena memungkinkan Negara mengadili sendiri kasusnya.

Pelanggaran yang terjadi di Timor Timur jelas merupakan sebuah tindak kejahatan terhadap kemanusiaan, yang berarti bahwa pemberian amnesti tidak bisa dimasukkan sebagai opsi dalam penyelesaian kasus ini. Kemudian, apabila rakyat, dalam hal ini termasuk korban dari pelanggaran HAM, tidak menyetujui adanya pemberian amnesti, maka tidak boleh ada upaya kearah itu. Disamping itu, pemberian amnesti sangat berkaitan erat dengan praktik-praktik impunitas, yang seharusnya dihindari dalam menyelesaikan kasus pelanggaran HAM.

Bisa dijadikan ukuran adalah mengenai bagaimana dijalankannya proses amnesti di Afrika Selatan. Komisi kebenaran Afrika Selatan melahirkan aturan pemberian amnesti dari hasil negosiasi politik yang alot antara kekuatan politik Apartheid dengan anti-Apartheid. Kekuatan politik Apartheid bersedia memuluskan perjalanan transisi ke demokrasi jika mereka diberi garansi tidak digelandang ke pengadilan. Begitulah realitas yang dihadapi Komisi Kebenaran Afrika Selatan. Komisi Kebenaran yang dibentuk Nelson Mandela mampu mengawinkan pemberian amnesti dengan proses penemuan kebenaran dan pemberian kompensasi pada korban. Hal inilah yang membedakan praktik amnesti di Afrika Selatan dengan Negara lain, seperti Chili.

Di Afrika Selatan, pemberian amnesti berdasar kemauan pelaku yang secara individual mau mengakui perbuatannya secara jujur. Bukan dengan pendekatan kolektif yang tanpa pengakuan individual dari si pelaku (blanket amnesty), seperti yang terjadi di negara-negara Amerika Latin. Pada kasus Afsel, mereka yang dapat mengajukan amnesti terbatas:

1.Anggota suatu organisasi politik yang telah dikenal secara umum atau anggota gerakan pembebasan;
2.Pegawai atau anggota pasukan keamanan negara yang mencoba membalas atau melawan perjuangan suatu partai politik atau gerakan pembebasan;
3.Pegawai atau anggota pasukan keamanan negara yang terlibat dalam suatu pergulatan politik melawan negara (atau bekas negara); dan
4.Setiap orang yang terlibat dalam usaha kudeta atau percobaan kudeta. Jadi, hanya orang-orang yang memiliki motif folitik saja yang dipertimbangkan mendapat amnesti. Pelaku kriminal sama sekali tidak menjadi urusan Komisi Kebenaran.

Proses amnesti di Afrika Selatan secara relatif termasuk sukses, karena dapat membuat para pelaku mengungkapkan kejahatan mereka sendiri dan menyingkap kebenaran tentang nasib ataupun kematian para korban. Keberhasilan tersebut disebabkan oleh sistem peradilan pidana di Afrika Selatan, yang meskipun bersifat bias dan agak kurang berfungsi, namun menerapkan suatu ancaman hukuman yang besar, yang membuat para pelaku kejahatan takut dijatuhi hukuman jika mereka tidak bisa mengungkapkan kejahatan yang telah mereka lakukan.

KESIMPULAN
Dengan dimasukkannya upaya pemberian amnesti kepada para pelaku pelanggaran HAM yang dianggap bekerja sama penuh dalam mengungkapkan kebenaran telah memunculkan sikap pro kontra terhadap kinerja dari Komisi Kebenaran dan Persahabatan (KKP). Banyak pendapat dari berbagai elemen masyarakat yang member label sebagai sebuah lembaga impunitas, yang memungkinkan pelaku pelanggaran HAM berat di Timor Timur pada masa lalu lepas dari jerat hukum.

Pada dasarnya, tidak tertutup kemungkinan untuk diberikannya amnesti kepada para pelaku pelanggaran HAM, seperti praktik yang terjadi di Afrika Selatan. Namun banyak mekanisme dan persyaratan yang sesuai dengan konstruksi hukum, baik nasional maupun internasional, yang harus dipenuhi sebelum dijalankannya praktik amnesti terhadapa pelaku-pelaku pelanggaran HAM ini. Apabila memang praktik amnesti yang dipilih, maka harus dilihat seberapa jauh kesesuaiannya dengan hukum internasional. Walaupun hukum HAM internasional secara tegas telah membebankan kewajiban kepada Negara melakukan pengusutan dan penghukuman terhadap pelanggar berat HAM, yang bukan saja tercantum dalam perjanjian-perjanjian multilateral HAM, namun juga berasal dari hukum kebiasaan internasional, namun pemberlakuan kewajiban internasional tidak bisa dijalankan secara kaku seperti itu.

Jose Zalaquett, mantan pengacara HAM Amnesti Internasional berkebangsaan Chili, mengemukakan bahwa secara prinsip pendekatan internasional itu benar, sejauh berdasarkan kecenderungan bahwa setiap langkah yang bertujuan meminimalisasi tanggung jawab Negara dapat memperlemah perlindungan HAM dan hukum internasional. Namun, ia mengingatkan, penetapan standar terlalu kaku dan tidak praktis, dapat merusak hukum internasioanl sendiri. Dan juga pemberian amnesti tidak bisa diberikan kepada para pelaku pelanggaran HAM yang masuk kedalam kategori kejahatan terhadap kemanusiaan (crime against humanity) dan genosida (genocide). Oleh karena itu, banyak yang harus menjadi perhatian dari KKP sebelum menjalankan upaya ke arah pemberian amnesti, jangan sampai pemberian amnesti semata-mata sebagai bagian dari praktik impunitas.

Karena pada dasarnya, ketika impunitas terjadi maka segala idealisme tentang keadilan, rehabilitasi/restorasi sosial, serta prevensi kejahatan tidak memiliki ruang untuk terwujud. Di kala seorang pelaku pelanggaran HAM dan kejahatan serius tidak tersentuh oleh hukum, untuk alasan apapun, maka beberapa kondisi negatif akan menyertai.

Pertama, tidak adanya tindakan hukum akan membuat si pelaku dan orang lain berpikir bahwa tindakan jahat yang mereka lakukan tidak memiliki konsekuensi hukum. Pemikiran seperti ini tentu tidak menguntungkan dalam hal ia mungkin mendorong seseorang untuk melakukan tindakan yang sama dikemudian hari. Kedua, impunitas juga berarti tidak adanya public condemnation yang memadai. Dalam masyarakat yang pemerintahnya sedang mengalami transisi, penegasan kembali tentang nilai-nilai sering kali diperlukan. Bukannya malah menegaskan nilai-nilai dalam masyarakat, keberadaan praktik impunitas justru akan mengaburkan persepsi masyarakat tentang apa yang boleh dan apa yang tidak boleh dilakukan. Ketiga, impunitas juga akan membuat keadaan masyarakat yang telah terkoyak oleh pelanggaran HAM dan kejahatan serius menjadi kehilangan kesempatan untuk memulihkan diri. Keempat, kelompok masyarakat yang tidak puas melihat pelaku pelanggaran HAM dan pelaku kejahatan serius tidak dijatuhi hukuman pidana yang setimpal mungkin akan menempuh cara kekerasan untuk menggantikan fungsi retributif hukum pidana. Dalam konflik antar kelompok, situasi ini sangat berisiko untuk memuluskan daur kekerasan (conflict-cycle).

(Dari Berbagai Sumber ....)